TINJAUAN YURIDIS PASAL 368 KUHP TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA” (analisa putusan Pengadilan Negeri Sragen nomor 28/Pid.B/2009/PN.Srg.)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini leasing yang paling populer di kalangan masyarakat adalah leasing kendaraan bermotor, baik jenis kendaraan roda empat maupun rodadua. Menjamurnya perusahaan pembiayaan yang bergerak di bidang iniseolah juga memicu minat masyarakat untuk mendapatkan barang denganmurah dengan cara yang instan. Berawal dari pengertian tersebut kemudian terjadi kesalah pahaman yang mendasar, dimana lembaga pembiyaan khususnya leasing yang amat dekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dinilai harus mau dan mampu membanjiri masyarakat umum dengan fasilitas kredit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mulai beranjak, merambah pada pemberian kredit untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat yang mulai bergaya hidup konsumtif. Masyarakat yang sebenarnya belum mampu membeli suatu barang yang harganya jauh diatas kemampuan ekonomi mereka menjadi tergiur dengan iming-iming harga murah dan fasilitas kredit yang mudah. Hal ini kemudian menimbulkan masalah di kemudian hari ketika jatuh tempo pembayaran tiba.
1
Dalam kasus kredit bermasalah, debitur mengingkari janji mereka membayar bunga dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran. Dengan demikian mutu kredit merosot. Dalam kasus kredit bermasalah, ada kemungkinan kreditur terpaksa melakukan tindakan hukum atau menderita kerugian dalam jumlah yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah yang diperkirakan pada saat pemberian kredit yang dinilai dapat ditolerir. Oleh karena itu, kreditur harus mengalokasikan perhatian, tenaga, dana, waktu, dan usaha secukupnnya guna menyelesaikan kasus itu[1].
Pada banyak kasus yang terjadi, ketidakmampuan membayar kembali ini, pada awalnya disikapi dengan baik oleh pihak lessor, dengan mengupayakan berbagai kebijakan terkait kredit bermasalah tersebut. Berbagai upaya tersebut digunakan oleh lessor sebagai upaya penyelamatan bagi kredit bermasalah yang terjadi pada nasabahnya. Bagian dalam lessor yang dinamakan sebagai bagian Collection, bertugas mengurus semua usaha pengembalian tersebut. Namun sering kali terdapat nasabah yang tidak juga membayar hutang kreditnya kepada lessor walaupun lessor telah mengupayakan berbagai macam cara perbaikan sistem perkreditannya, demi pembayaran kembali hutang kredit tersebut oleh nasabahnya. Banyak alasan yang kemudian dilontarkan oleh nasabah terkait dengan kemoloran pembayaran atau pun tidak dibayarnya sama sekali suatu hutang kredit oleh nasabah. Ketika hal tersebut terjadi seharusnya pihak lessor melakukan penggugatan secara perdata kepada debitur karena dia telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian yang telah disepakati diawal terlepas dari asumsi bahwa sebenarnya pernjian tersebut banyak merugikan pihak debitur. Namun pihak lessor rata-rata merasa proses penggugatan secara perdata akan memakan waktu yang lama dan harus melalui sistem yang berbelit-belit sehingga acap kali meraka mengunakan jalan pintas untuk meneyelesaikan masalah piutang mereka (Keterangan dari wawancara dengan Hakim Anggota dalam Perkara Nomor 28/Pid.B/PN-Srg). Sehingga pihak lessor biasanya akan mengontak pihak ketiga yang menyediakan jasa penagihan. Biasanya bersifat perorangan, yang telah mempunyai suatu kesepakatan dengan lessor sebelumnya, yang mempunyai kemampuan tertentu untuk mempercepat pengembalian hutang kredit yang belum terbayar tersebut dengan cara yang lebih efektif[2]. Apabila berhasil pihak ketiga tersebut akan mendapat balas jasa tertentu dari perusahaan, biasanya sebesar presentase tertentu dari jumlah tunggakan kredit dan bunga tertagih. Dalam hal penagihan kredit seperti itu, secara hukum pihak ketiga yang bertugas dalam hal penagihan bertindak untuk dan atas nama kreditur. Sepanjang tindakan pihak ketiga tidak menyimpang, dari peraturan hukum, lessor pemberi kuasa tidak akan mengalami kesulitan. Akan tetapi bilamana dalam melakukan penagihan kredit mereka melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan hukum dan debitur mengadukan hal itu kepada pihak yang berwajib, perusahaan leasing pemberi kuasa dapat terseret ikut memepertanggungjawabkan tindakan itu. Guna menghindari tindakan yang tidak menyengankan, sebelum memberi kuasa kepada pihak ketiga untuk dan atas nama mereka menagih kredit, sebaiknya perusahaan leasing mempelajari bab 16, Pasal 1792-1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut secara khusus memuat berbagai macam hal yang berangkutan dengan sifat pemberi kuasa, kewajiban dari yang diberi kuasa dan yang memberi kuasa serta cara berakhirnya cara berakhirnya pemberian kuasa. Pada prakteknya, tindakan pihak ketiga banyak yang menyimpang dari perjanjian yang telah disepakati dengan perusahaan leasing .
Banyak ditemui debitur yang mengeluhkan mengenai tata cara penagihan kredit dengan cara yang tidak manusiawi. Tindakan tersebut antara lain memenuhi unsur dari tindak pidana pemerasan[3], karena saat melakukan penarikan maupun penagihan hutang kredit debitur biasanya para penagih menggunakan tindakan yang pada intinya memaksa debitur untuk membayar atau pun menyerahkan barang leasing, namun terkadang mereka tidak mau mengakui bahwa tindakan mereka tersebut adalah tindakan yang melawan hukum. Karena mereka mengatas namakan tugas dan jabatan mereka sebagai alasan bagi mereka untuk melakukan tindakan tersebut. Tindakan tersebut mereka pandang sebagai tindakan yang wajar untuk memberikan semacam peringatan kepada debitur agar mereka segera melunasi hutang kredit mereka pada pihak lessor. Persoalannya ketika hal tersebut di atas terjadi lapangan, sangat sedikit debitur yang melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib. Hal ini dikarenakan debitur sendiri mempunyai rasa takut, karena notabene mereka juga mempunyai kesalahan, yaitu belum melunasi hutang kreditnya pada perusahaan leasing. Dan ketika suatu persoalan mengenai tata cara penagihan kredit leasing yang kurang manusiawi karena mengandung unsur pemerasan terjadi, ketika pihak leasing melapor pada pihak berwajib banyak ditemui fakta bahwa akhirnya kasus tersebut berhenti pada kesepakatan damai sebelum sampai ke Persidangan di Pengadilan, entah damai disini adalah arti kata damai yang sebenarnya atau damai yang dipaksakan dari salah satu pihak. Yang  jelas penerapan hukum bagi penagihan yang tidak manusiawi selama ini penulis rasa masih sangat jauh bila dikaitkan dengan rasa keadilan dan tegaknya hukum yang berlaku. Berawal dari kegelisahan penulis akan hal tersebut kemudian penulis mengadakan penelitian ke berbagai kalangan yang berhubungan dengan dengan sistem penagihan hutang kredit, yang berpotensi disertai dengan tindakan pemerasan. Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap banyak subjek yang dianggap mempunyai kaitan erat dengan fenomena penagihan hutang kredit di masyarakat, penulis mendapatkan suatu kasus yang dilakukan oleh pihak ketiga dari suatu lembaga leasing. Dimana tindakan tersebut memenuhi unsur dari tindakan pemerasan yang dilakukan secara bersama-sama, yang dilaporkan oleh saksi kejadian tersebut ke pihak berwajib, dan pada akhirnya disidangkan, hingga mendapat putusan resmi dari Pengadilan Negeri Sragen.
Disanalah satu-satunya tempat dimana penulis mendapat keterangan yang pasti dan gamblang mengenai kegelisahan penulis tersebut. Hingga penulis dapat mempelajari mengenai perkara pemerasan yang dilakukan secara bersama-sama. Berdasarkan uraian di atas penulis mengadakan suatu research atau penelitian mengenai tindak pidana pemerasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pihak ketiga dari perusahaan leasing. Serta bagaimana putusan dan pertimbangaan hakim dalam memutus perkara tersebut. Dan setelah selesainya penelitian tersebut penulis kemudian tertarik untuk mengkaji dan meninjau lebih lanjut mengenai : “TINJAUAN YURIDIS PASAL 368 KUHP TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA” (analisa putusan Pengadilan Negeri Sragen nomor 28/Pid.B/2009/PN.Srg.).

B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat di buat identifikasi masalah sebagai berikut:
1.   Apakah bentuk tindak pidana pemerasan yang di lakukan secara bersama-sama menurut pasal 368 KUHP?
2.   Apakah pertimbangan hakim dalam memutus tindak pidana pemerasan yang di lakukan secara bersama-sama menurut pasal 368 KUHP?
           
C.    Rumusan Masalah
              Sebagai usaha dalam melakukan suatu penelitian yang lebih baik, terstruktur, terarah, serta agar lebih mudah memperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi pembahasan masalah ini dalam dua kerangka pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimana bentuk pengaturan Tindak Pidana Pemerasan yang Dilakukan Secara Bersama-sama menurut pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
2.      Sudahkah Putusan Pengadilan Negeri Sragen Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Pemerasan yang dilakukan secara bersama-sama menurut pasal 368 Kitab Undang–undang Hukum pidana (KUHP) mencerminkan rasa keadilan bagi korban?

D.    Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan penulis untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat. Penulis mempunyai dua tujuan yaitu:
1.     Tujuan penulis
a.       Untuk mengetahui bentuk pengaturan tindak pidana pemerasan yang di lakukan secara bersama-sama menurut Kitab Undang-undang Pidana?
b.      Untuk mengetahui putusan Pengadilan Negeri Sragen dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan yang di lakukan secara bersama-sama menurut pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mencerminkan rasa keadilan terhadap korban?
2.     Manfaat penelitian
a.       Menambah dan memperluas pengetahuan penulis mengenai tindakan pidana yang mungin terjadi dibalik penagihan hutang kredit; Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai kemungkinan terjadinya tindak pidana pemerasan yang dilakukan secara bersama-sama;
b.      Menggali, mengkaji, dan memahami pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut;
c.       Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai pemahaman hukum pidana dalam teori dan praktek di lapangan;
d.      Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana (S1) bidang hukum di Fakultas Hukum Universitas pamulang.

E.     Kerangka Teori
Adami berpendapat bahwa:
“Tindak Pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan negara kita. Dalam hampir seluruh perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu”[4]

Vos merumuskan bahwa:
“suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”[5]
Karni memberi pendapat bahwa:
“Delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa oleh seorang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggung jawabkan”[6] Sedangkan arti delict itu sendiri dalam Kamus Hukum diartikan sebagai delik, tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman”[7]



[1]Siswanto Sutojo. Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan Kasus.Jakarta: Damar Mulia Pustaka.2008.hal 113.
[2]R.Subekti dan Tjitrosoedibio.Kamus Hukum. Jakarta:Pradny Paramita.2005.hal.32
[3]Simons. Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Titel Asli: Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht) Diterjemahkan oleh PAF Lamintang. Bandung:Pioner Jaya.1992.hal.147
[4]Adami chazawi.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT.RajawaliGrafindo Persada.2002.hal:7
[5]Martiman Prodjomidjojo. Memahami Dasar-Dasar Hukum PidanaIndonesia 1. Jakarta: Pradnya Paramita.1995.hal:96
[6]Sudarto.Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas HukumUniversitas Diponegoro.1990.hal:92
[7]R.Subekti dan Tjitrosoedibio.Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.2005.hal:35

Comments