Tanggung jawab dalam Perjanjian antara PT.COSMAR dengan Pelanggan Berdasarkan UU No. 8 TAHUN 1999 tentang perlindungan Konsumen
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis dan dunia usaha di mulai semenjak
tahun 1970, dimana istilah Hukum Bisnis akhir-akhir ini lebih populer ketimbang
istilah-istilah lain yang ada, misalnya istilah Hukum Dagang dan Hukum
Perusahaan.
Istilah Hukum Dagang muncul karena adanya Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau yang dalam bahasa Belandanya disebut
dengan Wet Boek van Koopandel (WvK). KUHD merupakan lex specialis ( Hukum
Khusus) dari KUHPerdata yang lahir dari adanya Hukum Perikatan ( Hukum
Perjanjian) dalam KHUPerdata tersebut. Namun demikian, Hukum Dagang tidak hanya
membicarakan masalah jual beli (dagang) saja, tetapi juga hal-hal lain yang
secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan badan usaha yang
melakukan jual beli tersebut.
Sekarang Istilah Hukum Dagang cenderung mulai ditinggalkan oleh
para pakar (sarjana) karena dalam KHUD itu istilah pedagang dan perdagangan
sendiri sudah dicabut sejak tanggal 17 Juli 1938 dengan Staatblad 1938 nomor
276, dengan diubahnya Pasal 3 sampai Pasal 5 KHUD. Dalam Pasal 3 sampai dengan
Pasal 5 KHUD yang kita jumpai sekarang, hanya ada istilah pengusaha dan
perusahaan. Oleh Karena itu, para sarjana banyak yang condong memakai istilah
Hukum Perusahaan.
Hukum Bisnis lahir karena adanya istilah bisnis. Istilah
“Bisnis” sendiri diambil dari kata business (bahasa Inggris) yang berarti
kegiatan usaha. Oleh karena itu, secara luas kegiatan bisnis diartikan sebagai
kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan usaha (perusahaan) secara
teratur dan terus-menerus yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau
jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan atau disewakan dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan.[1]
Berdasarkan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Perusahaan adalah setiap usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
perorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun
milik Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain; usaha – usaha sosial dan usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.[2]
Pelanggan (Customer) adalah
orang atau instansi/kantor yang membeli barang maupun jasa secara berulang.
Pelanggan dapat berupa individu (perorangan) maupun kolektif (organisasi).
Memang ada fenomena bahwa hukum kontrak dianggap sebagai
“keranjang sampah” (catch all). Hal
ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Yang di
maksud dengan fenomena hukum kontrak sebagai keranjang sampah adalah banyak hal
tentang dan sekitar kontrak tidak diatur baik dalam undang-undang ataupun dalam
yurisprudensi. Kalaupun diatur, tidak selamanya bersifat memaksa, dalam arti
para pihak dapat mengenyampingkannya dengan aturan yang dibuatnya sendiri oleh
para pihak. Pengaturan sendiri oleh para pihak ini dituangkan dalam kontrak
tersebut berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dalam hal ini pengaturan
sendiri dalam kontrak tersebut sama kekuatannya dengan ketentuan undang-undang.
Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all), sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang,
yurisprudensi dan kepatutan jadi kontrak tersebut akhirnya memang berkedudukan
seperti keranjang sampah saja.
Banyak pebisnis tidak menyadari bagaimana pentingnya peran
seorang konsultan hukum dalam suatu negosiasi transaksi bisnis. Sehingga,
mereka baru datang ke konsultan hukum setelah timbul sengketa. Padahal dalam
banyak hal, sengketa tersebut umumnya dapat dielakkan jika saja permulaan
proses pembuatan kontrak sudah diikutsertakan konsultan hukum. Keadaan seperti
ini sangat sering terjadi dewasa ini.Baik jika terjadi negosiasi antara sesama
pebisnis domestik, apalagi jika salah satu pihaknya adalah pihak asing, pihak
domestiklah yang perlu ekstra hati-hati. Karena biasanya pihak asing tersebut
sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan konsultan hukumnya, sehingga
kedudukannya dari segi hukum benar-benar aman dan kuat. Umumnya, dalam suatu
kontrak, semakin kuat kedudukan salah satu pihak, semakin besar pula ancaman
terhadap pihak lainnya.
Masalah lemahnya jaminan perlindungan hukum Indonesia
terhadap kepentingan bisnis pihak mitra Indonesia merupakan akibat dari
lemahnya sistem hukum kontrak yang berlaku di Indonesia di mana banyak hal-hal
baru yang tidak diatur dalam sistem hukum di Indonesia terutama mengenai
kontrak.
Pihak Indonesia, umumnya memiliki kesempatan sangat kecil
untuk menegosiasikan kepentingannya. Transaksi yang berlaku adalah transaksi take it or leave it, mau menerima atau
tidak, dan karena alasan-alasan tertentu, pihak mitra Indonesia harus
mengusahakan perlindungan hukum sendiri, sementara ketentuan hukum nasional
belum mengakomodasikan kebutuhan itu.
Sebab-sebab lain yang berpengaruh terhadap lemahnya
perlindungan hukum tersebut dikarenakan kurang progresinya Indonesia dalam
memanfaatkan fasilitas-fasilitas perlindungan hukum yang disediakan oleh hukum
internasional.
Kendatipun kini terdapat perkembangan yang sangat
menggembirakan yaitu dengan aktifnya keterlibatan Indonesia dalam pendesainan
dan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang bersifat melindungi pelaku
bisnis, seperti GATT Anti-Dumping Code, dan
beberapa konvensi internasional penting lainnya seperti Convention of the law
applicable to international sales of
goods (1995) dan penandatanganan WTO Agreement.
Harus disadari bahwa perjanjian-perjanjian itu yang misalnya WTO sebenarnya
terbatas, yaitu sebatas transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan dalam
kerangka WTO. Dalam hal penyelesaian sengketa, juga ditentukan bahwa Badan
Penyelesaian Sengketa (Disputes Settlement Body) WTO hanya berurusan dengan
sengketa-sengketa yang timbul akibat dari pelaksanaan perjanjian (WTO Agreement) dan sama sekali tidak
berkaitan dengan perjanjian yang bersifat privat yang dibuat untuk suatu
transaksi antar perusahaan. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa untuk
masalah-masalah yang bersifat privat, yang berkaitan dengan transaksi bisnis
internasional, tetap berlaku hukum kontrak. Oleh karena itu, subyek bisnis,
tetap mengusahakan perlindungan sendiri melalui kontrak yang dibentuk dari
akibat-akibat perilaku curang mitra bisnisnya.
Agar suatu negosiasi bisnis berjalan dengan baik, maka yang
mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk-beluk bisnis
disertai dengan konsultan hukum, mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan
melihat dari aspek bisnisnya, sementara konsultan hukum akan melihat aspek
hukum dan formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada para konsultan
hukum sendiri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tetapi
juga menguasai dasar-dasar bisnis yang dinegosiasinya. Misalnya, kalau
negosiasi mengenai kontrak joint venture produksi barang-barang elektronik,
maka konsultan hukum tersebut juga harus mengerti tentang bisnis elektronik
yang bersangkutan. Tidak perlu mendetail, tetapi cukup dasar-dasarnya saja.
Disamping itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing, seorang konsultan
hukum juga harus dituntut untuk bisa berbahasa Inggris dengan sempurna. Bahkan
dewasa ini, bagi seorang konsultan hukum yang datang ke meja negosiasi
diharapkan pula untuk bisa memakai komputer sendiri, sehingga jalan dan hasil
negosiasidapat lebih cepat dan mulus.
Rumusan yang berlaku umum adalah semakin banyak detil
dimasukkan dalam suatu kontrak, maka akan semakin baik pula kontrak tersebut.
Karena kalau kepada masalah sekecil-kecilnya sudah disetujui, kemungkinan untuk
timbul perselisihan di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin. Karena itu
tidak mengherankan jika dalam dunia bisnis terdapat kontrak yang jumlah
halamannya puluhan bahkan ratusan lembar. Hanya saja demi alasan praktis
terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini dilakukan karena yangdi lakukan
baru hanya ikatan dasar, di mana para pihak belum bisa berpartisipasi atau
belum cukup waktu untuk memikirkan detail-detailnya dan agar ada suatu komitmen
di antara para pihak, sementara detailnya dibicarakan dikemudian hari.
Sebagai pegangan atau pedoman awal, baru dilanjutkan dengan
tahapan studi kelayakan (feasibility
study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi
bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi,
keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi
kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan
transaksi atau negosiasi lanjutan. Berdasarkan uraian pada latar belakang,
penulis memilih judul penelitian “Tanggung jawab dalam Perjanjian antara
PT.COSMAR dengan Pelanggan Berdasarkan UU No. 8 TAHUN 1999 tentang perlindungan
Konsumen”.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang, maka identifikasi masalah dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Apakah tanggung jawab PT.COSMAR terhadap Perjanjian yang dibuat dengan Pelanggannya tersebut telah
sesuai dengan UU NO. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2.
Apakah upaya menangani
keberatan Pelanggan dari PT.COSMAR telah sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen?
C.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang, maka penelitian ini difokuskan pada beberapa
permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
tanggung jawab PT.COSMAR terhadap Perjanjian yang dibuat dengan Pelanggannya
tersebut telah sesuai dengan UU NO. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2.
Bagaimanakah
upaya menangani keberatan Pelanggan dari PT.COSMAR telah sesuai dengan UU NO.8
TAHUN 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
D.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan
permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk:
a.
Mengetahui dan
menganalisa apakah upaya menangani keberatan
yang dibuat antar PT.COSMAR dengan Pelanggan telah sesuai denganUU
Perlindungan Konsumen
b.
Mengetahui dan
menganalisa bagaimana tanggung jawab PT.COSMAR terhadap Perjanjian yang dibuat
dengan Pelanggannya telah sesuai dengan UU perlindungan konsumen.
2.
Manfaat
Penelitian
Manfaat
dari hasil penelitian ini dapat dilihat secara teoritis dan praktis sebagai
berikut:
a.
Secara teoritis,
penelitian ini dapat memberi sumbangan bagi pengembangan – pengembangan
Perjanjian khususnya di bidang kosmetik bagi
perusahaan baik perorangan maupun persekutuan berdasarkan UU No.8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen .
b.
Secara praktis,
dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah
melalui Perusahaan – Perusahaan baik perusahaan perorangan maupun perusahaan
persekutuan dapat mengurangi kendala – kendala yang dihadapi dalam Perjanjian bagi perusahaan dalam bisnisnya.Dengan pola
penyelesaian yang terpadu melibatkan pemerintah melalui Perjanjian pihak
perusahaan satu dengan lainnya akan menjadi lebih efisien dan efektif untuk
memilih alternative dalam menyelesaikan permasalahan Perjanjian bagi perusahaan,sehingga
kerugian yang dialami pihak perusahaan akan berkurang.
Diharapkan
perusahaan khususnya yang terkait dalam Perjanjian mengetahui sekaligus terjaminnya hak – hak dan
kewajibannya dan gilirannya perusahaan satu dengan yang lainnya dapat saling
merasakan kesejahteraan. Penelitian ini juga di harapkan memberikan masukan
kepada pembuat peraturan dalam hal ini pemerintah agar Perjanjian itu seimbang dalam mengatur hak dan kewajiban
pihak perusahaan satu dengan lainnya.
E.
Kerangka Teori
Menurut
Pasal 1313 KHUPerdata Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu pihak
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[3]
Suatu perjanjian antara 2
orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat
suatu hal yang khusus menurut Black’s
Law Dictionary.[4] Dalam praktek hukum ia dianggap hanya sebuah kontrak yang
simple.Oleh karena itu pembuatannya dilakukan secara sederhana atau tidak
terlalu formal, kecuali untuk kontrak-kontrak yang memiliki nilai yang besar,
seperti proyek-proyek pembangunan.
Comments
Post a Comment